Ambo Mai, Sukses Setelah Ditipu

Bagian 1. Awal Terbentuknya Desa Todopoli

BERITA PALU461 Dilihat

MEDIA SUARA PALU, Morowali Utara- Entah sudah berapa banyak orang yang berjasa terhadap kehidupan orang lain di negeri ini. Tidak harus anak daerah, perantau juga mampu melakukannya. Meski hal itu berawal dari penderitaan. Berikut salah satu kisahnya.

Laporan: Ilham Nusi, Morowali

TERLIBAT langsung dalam pembangunan daerah tak pernah terpikir di benak Hi Ambo Mai Intang. Perantau asal Desa Siwa, Kabupaten Wajo, Sulsel pada 1996 silam ini kemudian menjadi tokoh penting pemekaran Desa Panca Makmur Desa Todopoli, penambah jumlah desa di Kecamatan Soyo Jaya, Kabupaten Morowali, Sulteng. Sebelumnya Todopoli adalah Dusun Uebangke.

Menurut penuturan Ambo Mai Intang, sebelum sekrang dihuni 1.473 jiwa dari 427 kepala keluarga, dusun Uebangke hanyalah sebuah kawasan di tengah hutan rimba tanpa satupun penduduk. Takdir hiduplah, kata dia, mengantar dusun itu terbentuk.

“Dulu Uebangke hanyalah jalur perlintasan warga dari Soyo Jaya ke Desa Era, Kecamatan Mori Utara. Itupun hanya ada jalan setapak yang perlahan-lahan dibentuk menjadi lebih lebar supaya bisa dilalui gerobak,” kata Ambo Mai, mengawali perbincangannya bersama Palu Ekspres, Kamis, 16 Agustus 2012 lalu.

Berawal dari keinginan mengubah perekonomian keluarga yang serba pas pasan, Ambo Mai bersama 69 KK lainnya dari desa yang sama berangkat menuju Kecamatan Togo Jaya, masih dalam wilayah Morowali. Kala itu, mereka mendapat tawaran dari seseorang untuk menjadi Transmigrasi Penduduk Setempat (TPS). Mendapat kesempatan itu, Ambo Mai kemudian mengumpulkan warga dengan persyaratan berupa bukti legalitas kependudukan, surat pindah dari daerah asal dan uang Rp500 ribu per KK. Sayangnya peluang itu tak sesuai harapan.

“Kami ternyata hanya dimanfaatkan seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Menyesal? itu pasti,” kenangnya.

Selama beberapa bulan ke 70 KK itu kemudian terlantar. Persedian uang saku terus menipis. Sementara orang yang tak ingin lagi disebut namanya oleh Ambo Mai itu selalu menolak atas pertanggungjawabannya. Putus asa perlahan lahan melemahkan niat mereka untuk bertahan tanpa kepastian. Sebagian warga akhirnya memilih pulang kampung ketimbang terus menderita di Togo Jaya.

“Lama kami menunggu janji itu. Bahkan saya juga disangka menipu mereka,” sebut Ambo Mai.

Ambo Mai yang merasa bersalah, terus berusaha agar orang-orang yang diajaknya dari Desa Siwa itu tidak membencinya. Maklum saja, mayoritas orang yang diajaknya untuk bertransmigrasi itu adalah keluarga besarnya. Selebihnya adalah tetangga satu kampung.

Tibalah suatu hari, Ambo Mai bertemu Sekretaris Kecamatan Soyo Jaya. Setelah menceritakan segalanya, Ambo Mai kemudian ditawari untuk membuka kawasan hutan di bagian selatan Soyo Jaya. Namun dengan ketentuan, setiap KK hanya boleh membuka lahan seluas 2 hektar.

“Pokoknya kami langsung menerima kesempatan itu. Maka kemudian jadilah dusun Uebangke,” katanya.

Seiring waktu, tidak semua warga tersebut mengikuti langkah Ambo Mai. Tetapi bapak dua anak (kala itu) tak patah arang untuk mendapat penghidupan lebih layak dari sebelumnya. Mulailah Ambo Mai dibantu istri tercintanya menanam kakao dan sayur sayuran. Begitupun warga lainnya yang tetap bersama Ambo Mai, saling berpacu untuk lepas dari kemiskinan.

Tiga tahun kemudian, mereka mulai menuai hasil kerja keras itu. Perlahan lahan perekonomian warga Uebangke semakin membaik. Sebagai orang yang ditokohkan, Ambo Mai kemudian ditunjuk untuk menjadi kepala dusun.
Keberhasilan Ambo Mai dan warga lainnya itu kemudian tersiar sampai ke Siwa. Satu persatu warga Siwa datang dan menetap di Uebangke. Mereka kemudian diberi izin pemerintah daerah setempat untuk membuka lahan perkebunan baru. Roda perekonomian kemudian berputar semakin stabil di tempat itu.

Hingga memiliki 6 orang anak -dua di antaranya telah meninggal dunia akibat sakit- Ambo Mai saat ini sudah hidup berkecukupan. Dari sebuah gubuk berukuran kecil, kini pria itu sudah bisa menghadiahi istrinya sebuah rumah permanen yang cukup megah. Beberapa unit kendaraan roda dua dan empat juga sudah dimilikinya.

Saat ini, Ambo Mai yang genap satu tahun menjabat Kepala Desa yang juga pemerkarsa adanya aliran listrik, budidaya dan fermentasi minyak Nilam (akan diceritakan PE pada edisi berikut) masih ingin terus berkarya. Meski desa mereka terbilang kategori daerah terisolir baik soal akses masuk maupun belum tersedianya sambungan komunikasi telepon. Baginya, hidup adalah jutaan arah jalan, jika kita pandai memilih yang tepat, maka usaha itu bakal berbuah baik.

Dari data kecamatan, Todopoli terdiri dari lima dusun, yakni D I dihuni 51 KK (168 jiwa), D II 57 KK (206 jiwa), D III 104 KK (395 jiwa), D IV 107 KK (359 jiwa), dan D V 108 KK (345 jiwa). Warga desa ini menggantungkan mata pencahariannya dari hasil kebun, sawah dan budidaya Nilam.

Cukup sulit jalur yang dilalui Palu Ekpres agar bisa tiba di Desa Todopoli. Berangkat dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulteng, akan lebih dekat dilalui dari Kabupaten Poso, selanjutnya menuju Desa Emeya, Kabupaten Touna.

Melewati jalan beraspal di pegunungan wilayah Touna, perjalan masih terasa nyaman sembari disuguhi pemandagan alam yang begitu menakjubkan. Namun itu tak akan berlangsung lama, karena setelah melewati gerbang perbatasan Touna – Morowali, maka kecepatan kendaraan akan berkurang hingga 20 km per jam sebab harus melalui jalan Morowali yang rusak parah. Bersambung… (*)

Komentar