Guru Honorer Mengabdi di Tengah Ketidakadilan

Editorial287 Dilihat

Editorial Media Suara Palu

Di balik keberhasilan generasi penerus, ada sosok guru yang bekerja tanpa pamrih. Di antara mereka, ada guru honorer yang terus berjuang di tengah ketidakadilan sistem yang abai terhadap kesejahteraan mereka.

Nasib guru honorer masih terkatung-katung, terperangkap dalam janji-janji kosong pemerintah.

Masalah utama yang mereka hadapi adalah upah yang tak manusiawi. Gaji ratusan ribu rupiah per bulan bukan hanya jauh di bawah standar hidup layak, tetapi juga penghinaan bagi profesi yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa.

Mereka bekerja setara dengan guru berstatus ASN—mengajar penuh waktu, menyusun kurikulum, membimbing siswa—tetapi diperlakukan seolah tenaga kerja murah yang bisa diabaikan begitu saja.

Janji pengangkatan menjadi ASN atau PPPK pun masih menjadi omong kosong bagi banyak guru honorer. Bertahun-tahun mengabdi, tetap saja status mereka tidak berubah.

Yang lebih menyakitkan, mereka harus bersaing dalam sistem seleksi yang sering kali tidak berpihak, mengabaikan pengalaman dan dedikasi bertahun-tahun.

Akibatnya, dunia pendidikan menghadapi ancaman serius. Bagaimana bisa seorang guru tetap semangat mendidik jika mereka sendiri hidup dalam ketidakpastian?

Banyak dari mereka yang akhirnya memilih meninggalkan profesi ini, bukan karena kurangnya cinta terhadap dunia pendidikan, tetapi karena realitas yang terlalu kejam untuk terus dihadapi.

Pendidikan berkualitas tidak akan pernah terwujud jika tenaga pendidiknya terus diperlakukan dengan tidak adil.

Pemerintah tidak bisa lagi menutup mata. Tidak cukup hanya menjanjikan perubahan; tindakan nyata harus segera dilakukan.

Reformasi sistem kepegawaian guru honorer harus menjadi prioritas utama, dengan memastikan kesejahteraan dan kepastian status bagi mereka.

Tanpa itu, kita sedang menggali kuburan bagi masa depan pendidikan Indonesia.

Saatnya kita semua bersuara lebih keras. Para guru honorer sudah terlalu lama berjuang dalam sunyi. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan.

Jika pemerintah masih abai, maka masyarakat harus berdiri di barisan depan untuk menuntut hak mereka.

Pendidikan yang baik dimulai dari gurunya—dan kita tidak boleh membiarkan mereka terus diperlakukan dengan tidak layak.

Guru, Mulianya Preofesimu.

Komentar