Editorial Media Suara Palu
Libur telah mulai, kata mudik pun mulai diperbincangkan. mudik menjadi tradisi dan harapan. Menjadi tradisi karena kerinduan kampung halaman setiap tahun, menjadi harapan karena asa bertemu dengan keluarga, teman sebaya bermain diwaktu kecil.
Setiap tahun, mudik menjadi fenomena sosial yang menyentuh jutaan hati. Jutaan orang pulang ke kampung halaman dengan semangat rindu dan harapan untuk berkumpul bersama keluarga.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, mudik sejatinya adalah cermin dari kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur negeri ini.
Di satu sisi, mudik menunjukkan betapa kuatnya ikatan sosial masyarakat Indonesia. Meski harus menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, dengan berbagai moda transportasi, semangat untuk bersilaturahmi tak pernah surut.
Ini adalah warisan budaya yang patut kita jaga. Namun di sisi lain, mudik juga membuka borok persoalan publik yang belum tuntas ditangani.
Pemerintah memang setiap tahun melakukan berbagai persiapan—rekayasa lalu lintas, penyediaan armada tambahan, dan imbauan kepada masyarakat.
Persiapan tak bisa hanya bersifat seremonial atau reaktif. Diperlukan perencanaan jangka panjang, terutama dalam membangun infrastruktur yang merata hingga ke daerah-daerah.
Mudik juga menjadi momen refleksi bagi para pemangku kebijakan: apakah pembangunan benar-benar berpihak pada daerah? Mengapa sebagian besar masyarakat harus merantau jauh demi penghidupan yang layak? Bila kesejahteraan merata, mungkin mudik tak akan lagi menjadi arus eksodus tahunan, melainkan hanya perjalanan singkat antar kota yang nyaman dan manusiawi.
Bagi masyarakat, mari jadikan mudik sebagai ajang memperkuat nilai kekeluargaan dan gotong royong. Berkendara dengan aman, menjaga lingkungan, serta saling membantu di tengah perjalanan adalah bentuk nyata dari solidaritas kita.
Mudik bukan hanya cerita tentang pulang kampung. Ia adalah potret siapa kita sebagai bangsa—dengan segala tantangan dan harapan yang kita bawa di punggung, di jalanan, dan di hati.
Komentar