Editorial Media Suara Palu
Mereka tak selalu dikenal. Tak sering pula disebut. Tapi setiap hari, karya para jurnalis hadir merekam denyut kehidupan, membingkai luka dan harapan dalam selembar gambar atau sebaris kalimat.
Mereka jarang tampil dalam sorotan, karena tugasnya adalah menyorot. Tapi diam-diam, mereka pun punya cara untuk menyentuh.
Beberapa hari lalu, di Panti Asuhan Berkah Amanah Akhirat dan di pelosok TPA Kawatuna yang sunyi dan berdebu, sekelompok jurnalis datang bukan untuk mencari berita.
Mereka tidak membawa pertanyaan, tidak mengejar narasumber. Mereka datang membawa pelepas dahaga, air, dan senyum.
Anak-anak di panti itu, juga para pemulung kecil di TPA itu, mungkin tak tahu apa itu deadline, lead, atau angle. Tapi mereka tahu: hari itu ada orang-orang yang peduli.
Orang-orang yang biasanya hanya mereka lihat lewat layar atau foto, kini hadir menggenggam tangan mereka.
Itulah sisi jurnalisme yang sering tak terlihat—ketika pena diletakkan sejenak, kamera digantung, dan hati berbicara lebih lantang dari berita manapun.
Di sanalah jurnalisme menemukan ruhnya: bukan hanya sebagai alat pencatat sejarah, tapi juga sebagai jembatan kemanusiaan.
Apa yang dilakukan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu dan komunitas jurnalis lainnya bukanlah aksi besar yang akan memenuhi halaman depan.
Tapi dari sanalah kita belajar, bahwa kepedulian tak butuh panggung. Tindakan mereka adalah pesan sunyi yang lebih dalam dari sekadar kutipan narasumber.
Di tengah zaman ketika berita datang silih berganti, dan perhatian publik cepat beralih, momen-momen seperti ini mengingatkan kita: jurnalis juga manusia. Dan dalam keheningan itu, mereka tak diam. Mereka merangkul.
Media Suara Palu mengapresiasi langkah-langkah kecil yang bermakna besar ini. Karena kami percaya, di balik setiap kamera, di balik setiap kata, selalu ada hati yang bisa menyentuh lebih jauh daripada berita itu sendiri.
Lensa dan Pena bisa menjadi persaudaraan lebih dari sekedar makna gambar dan arti tulisan
Komentar