Langit Redaksi dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Menjaga Asa Jurnalisme di Tengah Ancaman dan Harapan

Editorial177 Dilihat

Editorial Media Suara Palu

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah peristiwa memilukan dan mengkhawatirkan menimpa para jurnalis di Indonesia.

Dari teror fisik, ujaran kebencian di media sosial, pelecehan verbal, hingga kematian jurnalis yang penuh misteri—semuanya menjadi potret buram kondisi kebebasan pers kita hari ini.

Kita masih mengingat bagaimana wartawan Tempo diteror dengan kepala babi dan bangkai tikus di halaman kantornya, sebuah simbol kekerasan yang mencoba menakut-nakuti suara yang kritis.

Syamsuddin Tobone, jurnalis TV, menjadi sasaran ujaran merendahkan oleh seorang pejabat kepolisian, meski kemudian permintaan maaf disampaikan secara terbuka.

Di Kalimantan, seorang jurnalis ditemukan meninggal dunia dalam kondisi yang menyisakan banyak tanya.

Terbaru, pada 4 April 2025, seorang jurnalis asal Sulawesi Tengah, Situr Wijaya, ditemukan meninggal di Jakarta—lagi-lagi dalam suasana yang mengusik nurani publik.

Kumpulan peristiwa ini tidak bisa hanya dilihat sebagai insiden terpisah. Ini adalah sinyal bahwa profesi jurnalis masih berhadapan dengan risiko tinggi, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Wartawan bukan sekadar pencatat peristiwa; mereka adalah penjaga demokrasi. Di pundak merekalah informasi publik yang jujur dan berimbang diletakkan.

Namun, kerja-kerja jurnalistik membutuhkan dukungan nyata—bukan hanya dari sesama jurnalis, tapi juga dari masyarakat dan pemerintah.

Sayangnya, relasi ini kerap timpang. Pemerintah membutuhkan media untuk menyampaikan pesan pembangunan, tetapi enggan menerima kritik.

Media dibutuhkan untuk menyuarakan program, tapi dibatasi saat mengungkap celah-celah kebijakan. Bahkan dalam suasana yang tampak akrab—seperti pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan para pemimpin redaksi nasional

Editorial ini ingin menyatakan media dan pemerintah seharusnya menjadi mitra dalam membangun peradaban informasi yang sehat. Bukan saling mencurigai, apalagi saling menekan.

Pemerintah harus memberi ruang bagi media untuk bekerja tanpa rasa takut, dan media pun wajib menjaga akurasi, kode etik, serta tidak menyalahgunakan kebebasannya.

Menjadi jurnalis bukan hanya soal menulis berita. Ini soal mempertaruhkan kenyamanan demi kejujuran.

Soal berjalan di garis tipis antara kebenaran dan kekuasaan. Dalam dunia yang penuh distraksi dan manipulasi, jurnalis adalah penjaga api kebenaran—yang kadang redup, tapi tak boleh padam.

Media Suara Palu berdiri di sisi jurnalisme yang jujur dan berpihak pada publik. Kami percaya, saat jurnalis bisa bekerja dengan aman, masyarakatlah yang paling diuntungkan.

Komentar