Jabatan Itu Amanah, Bukan Hadiah

Editorial243 Dilihat

Editorial Media Suara Palu

Di balik pintu kantor yang tertutup rapat, di balik meja kerja yang licin mengilap, dan di balik tanda pangkat yang disematkan dengan seremonial, ada sesuatu yang lebih berat daripada jabatan itu sendiri: tanggung jawab.

Jabatan bukanlah mahkota yang diwariskan kepada yang pandai membungkuk. Ia bukan kursi mewah bagi mereka yang sibuk menyanjung tanpa karya.

Jabatan adalah ruang sunyi tempat keputusan-keputusan penting lahir, dan masyarakat menaruh harapan di ambang pintunya.

Seorang pemimpin—terlebih lagi di struktur birokrasi—tidak cukup hanya ramah di depan atasan, tapi harus tangguh dalam manajemen, kuat dalam struktur, dan jernih dalam komunikasi.

Ia harus menjadi nahkoda yang paham arah angin dan tahu kapan layar harus dikembangkan, bukan sekadar penumpang dalam kapal besar bernama “pemerintahan”.

Kompetensi manajerial adalah syarat utama. Ia harus tahu bagaimana menyusun program yang masuk akal, mengelola sumber daya manusia tanpa menindas, dan mengeksekusi kebijakan dengan tepat sasaran.

Ia harus mampu memimpin dengan pikiran terbuka dan hati yang bekerja.

Lalu, kemampuan struktural menjadi napas dari sistem. Pemimpin yang tak paham birokrasi ibarat petani yang turun ke sawah tanpa tahu musim.

Jabatan membutuhkan orang yang tahu bagaimana mengalirkan keputusan melalui lorong-lorong administrasi, agar manfaatnya sampai pada rakyat, bukan berhenti di meja rapat.

Tapi hari ini, ada satu syarat lain yang tak boleh diabaikan: kemampuan berkomunikasi, bahkan dengan media. Di era keterbukaan ini, publik berhak tahu ke mana arah pembangunan.

Pejabat yang diam seribu bahasa hanya akan membuat kabar simpang siur mengambil alih narasi. Ia harus bisa bicara, menjelaskan, meluruskan, dan tak takut dikritik. Karena pemimpin yang baik bukan yang pandai sembunyi, tapi yang berani hadir di tengah rakyat.

Jabatan bukan tempat untuk berlindung dari kenyataan. Ia adalah tempat untuk diuji: oleh waktu, oleh rakyat, dan oleh sejarah.

Mari kita ingatkan kembali: jabatan adalah amanah, bukan hadiah. Maka, ia layak diberikan hanya kepada mereka yang memiliki kapasitas, integritas, dan keberanian untuk bicara jujur di ruang publik.

Seperti halnya di banyak tempat lain, sudah saatnya kita menutup pintu bagi budaya menjilat demi naik pangkat.

Kita butuh birokrasi yang disegani bukan karena wibawa semu, tapi karena kerjanya nyata, kata-katanya bisa dipercaya, dan keberadaannya memberi arti.

Komentar