Media Suara Palu, Toribulu– Di balik rindangnya pohon bakau yang tumbuh rapat di pesisir Desa Tomoli, Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong, tampak seorang lelaki tua mendayung perahu kecilnya perlahan. Sabtu, 19/4/25
Dengan sebuah galah panjang di tangan, ia menelusuri perairan tenang, mencari rezeki dari laut yang setia menemaninya sejak muda.
Namanya Samruddin. Usianya 59 tahun, namun tubuh kurus dan otot tuanya masih kuat mengayuh arah hidup.
Setiap hari, pukul dua siang, Samruddin turun ke laut. Bukan untuk sekadar memancing, tapi memasang pukat demi mencari ikan hitam atau ikan batu—ikan favorit pasar yang bisa sedikit menambal dapur hari itu.
Tapi laut tak selalu ramah. Kadang ia pulang hanya membawa satu cucuk ikan yang dijual Rp25 ribu. Kadang juga kosong sama sekali.
“Biasa lima jam saya tunggu, periksa pukat, tapi kosong. Ya dibawa pulang kosong juga,” ujarnya sambil tersenyum, menepuk-nepuk sisi perahunya.
Samruddin bukan orang baru di dunia laut. Sejak muda ia sudah memanjat kelapa, memasang pukat, bahkan berburu kerang saat air surut. Hidupnya berpindah-pindah, tapi selalu setia pada alam.
Ia menikah tiga kali. Dari istri pertama, ia dikaruniai dua anak—laki-laki dan perempuan. Istri kedua tak memberinya keturunan.
Lalu dari pernikahan ketiganya, ia kembali dikaruniai dua anak laki-laki. Empat anak adalah harta paling berharga yang ia banggakan, melebihi hasil tangkapan laut mana pun.
“Anak-anak sekarang banyak kerja di luar. Saya di sini saja, tunggu laut,” katanya pelan.
Desa Tomoli memang dikenal sebagai salah satu kampung pesisir yang masih menjaga hubungan erat dengan laut dan hutan bakau.
Samruddin adalah gambaran dari mereka yang terus menggantungkan harapan pada alam meski zaman berubah cepat.
Hari itu, di bawah cahaya senja pukul 18.06, Samruddin masih tegak berdiri di atas perahunya.
Di tengah sunyi, suara kayuhannya menyatu dengan suara alam. Ia bukan sekadar nelayan, tapi penjaga tradisi, penjaga harapan.
Komentar