Mata Air Matia: Puluhan Tahun Mengalir, Menyatu dengan Sejarah dan Kehidupan Warga Tomoli

Ragam, SULTENG375 Dilihat

Media Suara Palu, Parigi Moutong- Di sebuah lekuk alam Dusun 3 Desa Tomoli, mengalir tenang Mata Air Matia—sumber air yang tidak hanya menghidupi warga, tapi juga menyimpan jejak sejarah yang mungkin tak banyak diketahui.

Selama puluhan tahun, mata air ini tak pernah kering di musim kemarau, dan tak pernah keruh meski hujan deras mengguyur.

Ia setia mengalir, menjaga kehidupan.

Bagi warga sekitar, air dari Matia adalah berkah yang terus dijaga. Arfan, warga Dusun 4, sudah tiga tahun lebih mengambil air dari sini setiap empat hari sekali.

“Sudah pernah diuji petugas kesehatan, hasilnya layak konsumsi. Kami percaya karena memang sejak dulu airnya bersih dan segar,” ujarnya, di sumber mata air Matia, Minggu 20/4.

Sementara itu, Made Darmini dari Dusun 1 Desa Buranga mengaku lebih memilih air Matia daripada membeli air galon isi ulang.

“Kalau minum air galon, malah sakit tenggorokan dan batuk. Sejak pakai air ini, sehat-sehat saja,” ucapnya sambil menata jerigen yang telah diisi.

Menariknya, mata air ini bukan sekadar sumber kehidupan, tapi juga saksi sejarah. Konon kabarnya, Raja Tombolotutu, jika dalam perjalanan dari Tinombo ke Palu, selalu singgah di mata air Matia.

Ia dikenal senang berhenti di tempat-tempat yang memiliki aliran air segar dan bersih, dan Matia menjadi salah satunya.

Kini, di tengah derasnya arus modernisasi, warga Tomoli tetap setia menjaga mata air ini. Mereka datang membawa jeriken, galon, dan anak-anak mereka.

Bukan hanya untuk mengambil air, tetapi juga untuk mewariskan kearifan lokal dan kedekatan dengan alam yang semakin langka.

Mata Air Matia bukan hanya aliran air—ia adalah warisan, sejarah, dan pengingat bahwa alam bisa menjadi penjaga hidup jika kita menjaganya pula.

Komentar