Media Suara Palu — Aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah kembali menjadi sorotan. Muhammad Safri, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dari Komisi III yang mewakili daerah pemilihan Morowali dan Morowali Utara.
Dirinya menegaskan bahwa pembangunan di wilayah ini masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di lingkar tambang.
Dalam diskusi terbuka di ruang podcast Media Suara Palu pada Minggu (12/5), Safri menuturkan bahwa meskipun sektor tambang kerap disebut sebagai tulang punggung perekonomian, kenyataan di lapangan jauh dari ekspektasi.
“Pertumbuhan ekonomi masyarakat lingkar tambang tidak sejalan dengan nilai yang disetor ke negara. Banyak warga justru kehilangan mata pencaharian,” ujar Safri.
Ia mencontohkan para nelayan yang kini kesulitan menangkap ikan akibat rusaknya ekosistem laut.
Menurutnya, hampir semua daerah lingkar tambang di Sulteng kini menghadapi kesedihan yang sama: kehilangan ruang hidup.
Tak hanya dari sisi ekonomi, Safri juga menyinggung dampak sosial yang ditimbulkan. Ketimpangan sosial kian mencolok.
Ia menyebut hanya segelintir orang yang menikmati manfaat pertambangan, sementara warga lokal merasa terpinggirkan.
“Ketimpangan dan kecemburuan sosial tumbuh karena keadilan tidak hadir. Tambang menjanjikan kemakmuran, tapi yang dirasakan justru keterasingan dan penderitaan,” tegasnya.
Dalam diskusi tersebut, Safri juga menyoroti carut-marut perizinan tambang yang dianggap tidak transparan dan penuh penyimpangan.
Dirinya menilai, ketidakjujuran para pengusaha dan lemahnya pengawasan pemerintah menjadi akar dari kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang terus memburuk.
“Masalah ini bukan hanya soal investasi. Ini soal moral dan kejujuran. Banyak izin tambang yang diberikan tanpa prosedur yang benar, dan itu berbahaya,” ungkapnya.
Safri pun menyebut contoh nyata di Kecamatan Bungku Raya, Morowali, di mana ribuan hektare hutan dan pesisir kini terancam akibat aktivitas tambang yang tak terkendali. Ia mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas sebelum kerusakan lingkungan menjadi permanen.
“Jangan tunggu semuanya habis, baru kita tersadar. Harus ada keberanian menertibkan tambang-tambang yang tidak taat aturan,” tutupnya.
Komentar