Sumber Kehidupan 400 KK di Lelang Matamaling Terancam Tambang

Media Suara Palu, Palu. Rencana aktivitas penambangan batuan gamping di Desa Lelang Matamaling, Kecamatan Buko Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memicu kekhawatiran luas dari warga dan pegiat lingkungandan masyarakat. Pasalnya, wilayah yang akan ditambang merupakan kawasan karst yang menjadi tumpuan utama sistem hidrologi, pertanian, dan perikanan masyarakat setempat.

Kabupaten Banggai Kepulauan memiliki kekayaan geologi berupa ekosistem karst yang mencakup sekitar 95% daratan, dengan jaringan 124 mata air, 103 sungai permukaan, 17 gua, dan satu sungai bawah tanah. Sistem karst ini menjadi sumber utama air bersih dan menopang keanekaragaman hayati serta sektor pertanian dan perikanan warga.

Namun demikian, data terbaru dari JATAM Sulteng (Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah) per Juni 2025 menyebutkan, pemerintah telah menerbitkan izin untuk 45 perusahaan tambang batu gamping dengan total luasan mencapai 4.599 hektare. Di Desa Lelang Matamaling sendiri, empat perusahaan telah mengantongi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Pencadangan, yaitu:

  • PT. Defia Anugrah Sejahtera
  • PT. Gamping Bumi Asia
  • PT. Gamping Sejahtera Mandiri
  • PT. Prima Tambang Semesta

Dengan total area 696 hektare yang berpotensi tumpang tindih dengan lahan pertanian warga dan sumber mata air.

Moh. Taufik, Koordinator JATAM Sulteng, menegaskan bahwa pemberian WIUP di wilayah ini diduga melanggar KEPMEN KP Nomor 53/KEPMEN-KP/2022 yang menetapkan Desa Lelang Matamaling sebagai bagian dari Zona Inti, Sub Zona Budidaya Perikanan, dan Sub Zona Wisata Bahari dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi Sulawesi Tengah.

“Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap potensi kerusakan yang ditimbulkan. Jika karst dirusak, maka bukan hanya sumber air yang hilang, tapi seluruh sistem penghidupan warga akan terganggu. Ini bertentangan dengan hukum dan logika ekologis,” ujar Taufik, saat kenferensi pers di sekretariat JATAM Sulteng, Selasa 1/7

Rencana penambangan ini juga mengancam keberadaan Ekowisata Gua Jepang, salah satu situs geowisata di kawasan karst Banggai Kepulauan yang dilindungi melalui Perda Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst.

Abd Hadi, warga Desa Lelang Matamaling, menuturkan bahwa sebagian besar warga hidup dari pertanian dan melaut. Menurutnya, mata air Laanding – yang berasal langsung dari sistem karst – menjadi sumber utama air bersih bagi warga. Dirinya juga ikut menandatangi penolakan mei tahun lalu.

Sebanyak 400 kepala keluarga di desa ini menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan. Petani menanam ubi, kelapa, cengkeh, hingga sayuran, sementara nelayan tangkap seperti Nardi bisa memperoleh hasil laut hingga 3 juta rupiah per hari. Selama ini, ekosistem karst menyediakan air dan menopang produktivitas mereka.

Jika tambang benar-benar beroperasi, maka warga khawatir tidak hanya kehilangan sumber air dan tanah, tetapi juga potensi bencana ekologis seperti banjir dan longsor karena hilangnya fungsi resapan kawasan karst.

JATAM Sulteng Mendesak:

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencabut Surat Keputusan WIUP untuk empat perusahaan tambang di Desa Lelang Matamaling karena:

  1. Bertentangan dengan KEPMEN Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 53/KEPMEN-KP/2022, yang menetapkan desa ini sebagai bagian dari kawasan konservasi laut dan pesisir.
  2. Berpotensi merusak Ekowisata Karst Gua Jepang yang dilindungi oleh Perda Nomor 16 Tahun 2019, Pasal 10 Ayat (2) huruf m, tentang Perlindungan Ekosistem Karst.

Ubi Banggai misalnya yang jadi primadona warga setempast  yang terkenal hingga ke Palu juga terancam tidak bisa lagi diproduksi. Setidaknya setiap panen, bisa menghasilkan 20 blek dengan nilai Rp.100.000 satu blek.

Komentar