Di Palu, 764 Gugatan Cerai Tahun 2024

BERITA PALU, SULTENG384 Dilihat

Media Suara Palu, Palu – Fenomena mengejutkan terjadi sepanjang tahun 2024 di Palu. Data resmi menunjukkan, angka perceraian didominasi oleh pihak perempuan yang menggugat cerai suami mereka. Dari total kasus yang tercatat, sebanyak 764 adalah cerai gugat, sementara cerai talak oleh pihak laki-laki hanya 204 kasus.

Seorang sumber dari lingkungan peradilan agama mengungkapkan, cerai gugat adalah bentuk perceraian yang diajukan oleh istri kepada suami melalui pengadilan. “Ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam dinamika rumah tangga. Banyak perempuan kini yang berani mengambil langkah untuk mengakhiri pernikahan yang dirasa tak lagi sehat,” jelasnya.

Perselisihan Jadi Api Pemicu Perceraian

Tak hanya persoalan ekonomi, penyebab utama perceraian justru adalah perselisihan yang terus-menerus. Pertengkaran yang awalnya sepele, lambat laun menjadi bara yang membakar keharmonisan rumah tangga.

“Pertengkaran itu bisa terjadi hampir setiap hari. Jika sudah berlangsung lebih dari enam bulan tanpa solusi, biasanya kesabaran habis dan keputusan cerai pun diambil,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.

Hak Asuh Anak Sering Jadi Sengketa

Usai perceraian, perkara tak lantas selesai. Hak asuh anak menjadi medan pertempuran baru, terutama jika anak masih di bawah usia 12 tahun. Meski hukum mengatur bahwa anak belum mumayiz lebih berhak diasuh oleh ibu, tidak jarang terjadi perebutan di meja hijau.

“Ketika keduanya bersikeras ingin mengasuh anak, sidang hak asuh pun menjadi ajang yang melelahkan secara emosional,” tambah sumber itu.

Masih Ada Cinta? Rujuk Pasca-Cerai Bukan Mustahil

Meski angka perceraian tinggi, tak sedikit pula pasangan yang memutuskan untuk kembali bersama setelah bercerai. Namun, tidak semua jenis perceraian bisa langsung rujuk begitu saja. Dalam cerai talak, suami masih memiliki hak rujuk selama masa iddah tanpa perlu akad baru. Berbeda halnya dengan cerai gugat—yang paling banyak terjadi—di mana rujuk hanya bisa dilakukan dengan akad nikah baru.

“Biasanya pasangan yang rujuk adalah mereka yang masih memiliki anak dan merasa hubungan masih bisa diperbaiki,” pungkasnya.

Fenomena ini menegaskan bahwa perempuan kini tak lagi diam ketika rumah tangga tak memberi kebahagiaan. Di tengah tekanan sosial dan stigma, mereka memilih jalan yang menurut mereka paling baik—meski harus menempuh jalur perceraian.

Komentar